Oleh Metro TV News | Metro TV – Sab, 9 Apr 2011
BERBAGAI situs media sosial yang bermunculan dalam beberapa tahun terakhir, menambah kekhawatiran baru bagi para orangtua. Sejumlah dokter kini memperingatkan suatu gejala yang dikenal dengan istilah 'Facebook depression,' yang dapat menimpa anak.
Istilah tersebut merujuk pada kondisi di mana anak terobsesi mengenai tempat mereka di media sosial. Gejalanya sama dengan gejala depresi klasik. Anak-anak dengan rasa harga diri yang rendah, disebutkan paling berisiko mengalaminya.
Beberapa peneliti berbeda pendapat tentang apakah kondisi itu hanya perpanjangan dari depresi yang dirasakan anak dalam keadaan lain, atau kondisi yang berbeda jika dihubungkan dengan penggunaan situs online.
Sejumlah aspek dari Facebook bisa kian memperparah situasi anak yang sudah berurusan dengan masalah harga diri. Lewat update status dan foto-foto berwajah bahagia yang diposting oleh teman-temannya, laman Facebook bisa membuat sejumlah anak merasa kian buruk tentang dirinya dan berpikir dia tidak dikehendaki.
Menurut Dr. Gwenn O'Keeffe, dokter anak dan penulis pedoman media sosial American Academy of Pediatrics (AAP) yang dirilis pada 28 Maret 2011, tekanan yang dihadapi praremaja dan remaja untuk menyesuaikan diri secara online mulai mengkhawatirkan.
''Bagi sejumlah anak praremaja dan remaja, media sosial merupakan cara utama mereka untuk berinteraksi secara sosial, daripada pergi ke mal atau ke rumah teman,'' ujarnya seperti dikutip situs aap.org.
Berdasarkan jajak pendapat oleh Common Sense Media pada Agustus 2009, sebanyak 22 persen remaja log on ke situs media sosial favorit mereka lebih dari 10 kali dalam sehari, dan lebih dari setengah remaja log on ke situs media sosial lebih dari sekali dalam sehari. Sebanyak 75 persen remaja sekarang memiliki ponsel pribadi, dan 25 persen di antaranya menggunakan perangkat itu untuk membuka situs media sosial, 54 persen untuk mengirim SMS, dan 24 persen untuk instant messaging.
Pro kontra
Laporan AAP tersebut juga menguraikan efek positif dari media sosial. Keterlibatan di dalam media sosial dan komunikasi online, dapat meningkatkan komunikasi, memfasilitasi interaksi sosial dan membantu mengembangkan keterampilan teknis.
Melalui medium itu, anak praremaja dan remaja dapat menemukan kesempatan terlibat dalam komunitas secara sukarela, dan dapat membentuk rasa identitas kaum muda. Perangkat ini juga bisa menjadi tambahan yang berguna, dan dalam beberapa kasus bahkan menggantikan metode belajar tradisional di kelas.
Akan tetapi, anak praremaja dan remaja memiliki kapasitas yang terbatas untuk mengatur diri dan rentan terhadap tekanan yang mengintai. Mereka dapat terjebak dalam situs dan situasi yang tidak sesuai dengan usia. Sejumlah penelitian menunjukkan, isi beberapa situs media sosial dapat memengaruhi kaum muda untuk terlibat dalam perilaku berisiko. Selain itu, media sosial juga menyediakan tempat untuk cyberbullying dan sexting.
''Beberapa anak muda menemukan iming-iming media sosial sulit untuk ditolak, yang dapat mengganggu pekerjaan rumah, tidur, aktivitas fisik mereka. Orangtua perlu memahami bagaimana anak mereka menggunakan media sosial, sehingga dapat menetapkan batas yang sesuai,'' kata Dr. O'Keeffe.
Selain itu, orangtua juga harus mendidik anak-anak mereka tentang bagaimana situs media sosial dapat menangkap informasi pribadi penggunanya. Kaum muda juga dapat membahayakan reputasi dan keselamatan mereka, dengan memposting informasi pribadi yang tidak pantas.
Berikut ini adalah sejumlah cara bagi orangtua untuk melindungi anak-anak mereka dari bahaya media sosial:
1. Menjelaskan kepada anak-anak dan remaja tentang aktivitas online mereka, dan isu-isu khusus yang dihadapi anak-anak saat ini di dunia maya seperti cyberbullying, sexting, dan kesulitan mengatur waktu.
2. Mempelajari lebih jauh tentang teknologi yang banyak digunakan anak-anak saat ini.
3. Mendiskusikan dengan keluarga perlunya memiliki rencana aktivitas online, dengan penekanan pada perilaku sehat.
4. Mengawasi aktivitas online lewat partisipasi dan komunikasi aktif, bukan hanya lewat software pengawasan.(MI/ICH)
Istilah tersebut merujuk pada kondisi di mana anak terobsesi mengenai tempat mereka di media sosial. Gejalanya sama dengan gejala depresi klasik. Anak-anak dengan rasa harga diri yang rendah, disebutkan paling berisiko mengalaminya.
Beberapa peneliti berbeda pendapat tentang apakah kondisi itu hanya perpanjangan dari depresi yang dirasakan anak dalam keadaan lain, atau kondisi yang berbeda jika dihubungkan dengan penggunaan situs online.
Sejumlah aspek dari Facebook bisa kian memperparah situasi anak yang sudah berurusan dengan masalah harga diri. Lewat update status dan foto-foto berwajah bahagia yang diposting oleh teman-temannya, laman Facebook bisa membuat sejumlah anak merasa kian buruk tentang dirinya dan berpikir dia tidak dikehendaki.
Menurut Dr. Gwenn O'Keeffe, dokter anak dan penulis pedoman media sosial American Academy of Pediatrics (AAP) yang dirilis pada 28 Maret 2011, tekanan yang dihadapi praremaja dan remaja untuk menyesuaikan diri secara online mulai mengkhawatirkan.
''Bagi sejumlah anak praremaja dan remaja, media sosial merupakan cara utama mereka untuk berinteraksi secara sosial, daripada pergi ke mal atau ke rumah teman,'' ujarnya seperti dikutip situs aap.org.
Berdasarkan jajak pendapat oleh Common Sense Media pada Agustus 2009, sebanyak 22 persen remaja log on ke situs media sosial favorit mereka lebih dari 10 kali dalam sehari, dan lebih dari setengah remaja log on ke situs media sosial lebih dari sekali dalam sehari. Sebanyak 75 persen remaja sekarang memiliki ponsel pribadi, dan 25 persen di antaranya menggunakan perangkat itu untuk membuka situs media sosial, 54 persen untuk mengirim SMS, dan 24 persen untuk instant messaging.
Pro kontra
Laporan AAP tersebut juga menguraikan efek positif dari media sosial. Keterlibatan di dalam media sosial dan komunikasi online, dapat meningkatkan komunikasi, memfasilitasi interaksi sosial dan membantu mengembangkan keterampilan teknis.
Melalui medium itu, anak praremaja dan remaja dapat menemukan kesempatan terlibat dalam komunitas secara sukarela, dan dapat membentuk rasa identitas kaum muda. Perangkat ini juga bisa menjadi tambahan yang berguna, dan dalam beberapa kasus bahkan menggantikan metode belajar tradisional di kelas.
Akan tetapi, anak praremaja dan remaja memiliki kapasitas yang terbatas untuk mengatur diri dan rentan terhadap tekanan yang mengintai. Mereka dapat terjebak dalam situs dan situasi yang tidak sesuai dengan usia. Sejumlah penelitian menunjukkan, isi beberapa situs media sosial dapat memengaruhi kaum muda untuk terlibat dalam perilaku berisiko. Selain itu, media sosial juga menyediakan tempat untuk cyberbullying dan sexting.
''Beberapa anak muda menemukan iming-iming media sosial sulit untuk ditolak, yang dapat mengganggu pekerjaan rumah, tidur, aktivitas fisik mereka. Orangtua perlu memahami bagaimana anak mereka menggunakan media sosial, sehingga dapat menetapkan batas yang sesuai,'' kata Dr. O'Keeffe.
Selain itu, orangtua juga harus mendidik anak-anak mereka tentang bagaimana situs media sosial dapat menangkap informasi pribadi penggunanya. Kaum muda juga dapat membahayakan reputasi dan keselamatan mereka, dengan memposting informasi pribadi yang tidak pantas.
Berikut ini adalah sejumlah cara bagi orangtua untuk melindungi anak-anak mereka dari bahaya media sosial:
1. Menjelaskan kepada anak-anak dan remaja tentang aktivitas online mereka, dan isu-isu khusus yang dihadapi anak-anak saat ini di dunia maya seperti cyberbullying, sexting, dan kesulitan mengatur waktu.
2. Mempelajari lebih jauh tentang teknologi yang banyak digunakan anak-anak saat ini.
3. Mendiskusikan dengan keluarga perlunya memiliki rencana aktivitas online, dengan penekanan pada perilaku sehat.
4. Mengawasi aktivitas online lewat partisipasi dan komunikasi aktif, bukan hanya lewat software pengawasan.(MI/ICH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar